Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi
seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
v Faktor
internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci
menjadi :
Aspek
Perilaku Individu :
Sifat tamak/rakus manusia. Korupsi,
bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan. Korupsi adalah
kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah.
Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
Moral yang kurang kuat. Seorang
yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak
yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Gaya hidup yang konsumtif. Kehidupan
di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka
peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya.
Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Aspek Sosial :
Perilaku korup dapat terjadi karena
dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang
secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat
baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini
malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya
v Faktor
eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri
pelaku.
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi :
Pada umumnya jajaran manajemen
selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam
organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan
dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi
menyuburkan tindak korupsi terjadi karena : Nilai-nilai di masyarakat kondusif
untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat.
Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya.
Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya
dari mana kekayaan itu didapatkan.
Masyarakat kurang menyadari bahwa
korban utama korupsi adalah masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum
terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling dirugikan adalah negara. Padahal
bila negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga, karena
proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai akibat dari perbuatan
korupsi.
Masyarakat kurang menyadari bila
dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota
masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali
masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan
cara-cara terbuka namun tidak disadari.
Masyarakat kurang menyadari bahwa
korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam
agenda pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa
masalah korupsi adalahtanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang
menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut
melakukannya.
Aspek ekonomi :
Pendapatan tidak mencukupi
kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemung-kinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
Aspek Politis :
Menurut Rahardjo (1983) bahwa
kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi
orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol
sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang
melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.
Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
Aspek Organisasi :
Kurang adanya sikap keteladanan
pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal
mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
Tidak adanya kultur organisasi yang
benar. Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya.
Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai
situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian
perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
Kurang memadainya sistem
akuntabilitas. Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum
dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan
tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal
tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah
instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut
adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
Kelemahan sistim pengendalian
manajemen. Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota
atau pegawai di dalamnya. Lemahnya pengawasan. Secara umum pengawasan
terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan
pengawasan langsung oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal
(pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif
karena ,diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi,
kurangnya profesional pengawas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar